-->

Sejarah Kota Indramayu

kota indramayu
Nama Indramayu tidak terlepas dari Raden Bagus Arya Wiralodra.
Dia yang menjadi pendiri dan juga pemimpin di Indramayu (yang dulunya bernama Dermayu).
Di daerah Bagelen Jawa Tengah tepatnya di Banyuurip tinggallah seorang Tumenggung yang bernama Gagak Singalodra.
Beliau mempunyai 5 orang putera yakni Raden Wangsanegara, Raden Ayu Wangsayuda, Raden Wiralodra, Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa.
Di antara kelima putranya tersebut hanya Raden Wiralodra yang memiliki cita-cita yang tinggi.
Ia ingin membangun suatu negara untuk diwariskan kepada anak cucunya nanti.
Untuk mencapai cita-cita tersebut Raden Wiralodra melatih dirinya dalam ilmu kanuragan, tirakat dan bertapa sebagaimana lazimnya kehidupan seseorang yang bercita-cita menjadi ksatria pada masa itu.
Konon diceritakan bahwa Raden Wiralodra sedang menjalani tapa brata dan bersemedi di Perbukitan Melaya di kaki Gunung Sumbing.
Setelah melampaui masa tiga tahun, maka ia pun mendapat wangsit yang berbunyi :
“Wahai Wiralodra, apabila engkau ingin bahagia beserta keturunanmu di kemudian hari, pergilah merantau ke arah matahari terbenam dan carilah lembah sungai Cimanuk.
Jika sudah sampai di sekitar sungai Cimanuk, berhentilah dan menebang pepohonan untuk mendirikan sebuah pedukuhan dan menetap di sana.
Kelak tempat ini akan menjadi daerah yang subuh dan makmur hingga tujuh turunan disana”.


Setelah menerima wangsit tersebut, ia pun segera berkemas untuk pulang ke rumahnya di Banyuurip, dan memberitahukan perihal wangsit tersebut kepada orang tuanya.
Setiba di Banyuurip maka iapun segera menyampaikan maksudnya kepada orang tuanya dan memohon doa restunya untuk pergi mencari lembah Cimanuk seperti yang diperintahkan dalam wangsit tersebut.
Raden Gagak Singalodra berkata :
"Hai anakku Wiralodra, betapapun berat hati ayah melepasmu untuk mencari hutan Cimanuk, namun ayah rasa tidak ada rasa ingin menghalangi cita-citamu yang begitu mulia, oleh karena itu ayah akan merasa bangga kalau ayah melepasmu laksana anak panah meninggalkan busurnya, semoga kepergianmu senantiasa dilindungi Yang Maha Kuasa sampai ke tujuan yang dituju.
Berhati-hatilah hidup dirantau orang dan pergilah bersama Ki Tinggil untuk menyertai perjalananmu yang jauh itu".

Setelah perbekalan yang diperlukan dalam perjalanan disiapkan maka berangkatlah Raden Wiralodra diiringi oleh abdinya Ki Tinggil yang amat setia kepada majikannya menuju ke arah barat untuk mencari sungai Cimanuk.
Konon perjalanan Raden Wiralodra menemukan Sungai Cimanuk memakan waktu selama tiga tahun.
Tidak ada hutan lebat, tidak ada lembah yang curam, semua dilaluinya dengan tekad yang bulat, namun tujuan yang hendak dicapainya belum kunjung tiba.
Ia tidak tahu berapa lama lagi ia akan sampai kepada tujuannya, karena dia tidak tahu berapa jauh lagi tempat yang akan dicapainya.
Ia pun terus berjalan menuju arah terbenamnya matahari hingga akhirnya pada suatu senja di kala sang surya hendak masuk ke peraduannya dia sampai ke sebuah sungai yang sangat besar.
Raden Wiralodra bukan kepalang senangnya melihat sungai besar tersebut, karena disangkanya bahwa sungai itu adalah Sungai Cimanuk yang dicarinya.
Raden Wiralodra pun segera berkata kepada Ki Tinggil :
“Hai paman, rupanya inilah sungai Cimanuk yang sedang kita cari, marilah kita membuat rakit untuk menyeberanginya”.
Ki Tinggil menjawab :
"Saya berharap tuanku bersabar sebentar, kita sudah terlalu lama mengarungi hutan belantara, lagi pula hari ini sudah mulai gelap. Hamba pikir lebih baik kita beristirahat terlebih dahulu sampai besok, baru kita membuat rakit untuk menyeberangi sungai ini".
Wiralodra pun menjawab :
"baiklah paman kita istirahat saja sampai besok".

Pagi-pagi benar ketika mereka baru bangun dari tidurnya, mereka melihat ada orang tua dekat tempat mereka melepas lelah.
Ketika dilihat ada dua orang yang sedang duduk-duduk lalu menghampirinya sambil menyapa :
"wahai anak muda, siapakah tuan ini dan mengapa tuan berada di sini?".
Raden Wiralodra pun segera menyahut sambil menyambut tangan orang tua itu sebagai isyarat dia meminta berjabat tangan.
Lalu Raden Wiralodra pun menjawab :
“nama hamba Wiralodra dan teman hamba Ki Tinggil.
Hamba datang dari daerah Bagelen dan bermaksud mencari Sungai Cimanuk”.

Lalu dia meneruskan kembali percakapannya
“Duh Eyang, hamba sangat berterima kasih dapat bertemu dengan Eyang, karena hamba sudah tiga tahun lamanya berjalan mendaki gunung dan mengarungi rimba raya dalam perjalanan hamba mencari sungai Cimanuk”.
Hamba mohon bertanya, "apakah ini benar Sungai Cimanuk?", orang tua tersebut kemudian menjawab “Hai cucuku, kasihan benar tuan hamba ini, karena tuan hamba telah tersesat jalan.
Sungai ini bukanlah sungai Cimanuk yang tuan hamba cari, sungai ini adalah Sungai Citarum.
Adapun sungai Cimanuk yang tuan hamba cari telah kelewat, yakni terletak di sebelah timur.
Jadi tuan hamba harus balik kembali dan berjalanlah ke arah timur laut, demikian ucap kakek-kakek yang ada di sekitar Sungai Citarum tersebut."


Setelah berkata demikian lenyaplah kedua orang tua tersebut tanpa meninggalkan bekas.
Raden Wiralodra sangat menyesal karena tidak sempat bertanya siapa nama kedua orang tua tadi dan dimanakah tempat tinggalnya.
Menurut cerita salah satu orang tua tersebut adalah Ki Buyut Sidum dari Pajajaran.
Kemudian Raden Wiralodra dan Ki Tinggil berangkat menuju ke arah matahari terbit.
Siang dan malam mereka berjalan mengarungi hutan belantara.
Setelah sekian lama berjalan akhirnya mereka menemukan sebuah mata air yang jernih sekali.
Kemudian keduanya berhenti dan istriahat sambil membersihkan diri dan mencuci pakaian yang sudah kumal akibat perjalanan jauh yang menyita waktu.
"Mudah-mudahan disini kita bisa bertemu dengan manusia yang bisa memberi petunjuk kepada kita dimana letak sungai Cimanuk yang sedang kita cari" Gumam Raden Wiralodra.
Kemudian mereka mencari tempat yang teduh dan lapang untuk melepas lelah.
Dua minggu lamanya Raden Wiralodra dan Ki Tinggil melepas lelah di tempat itu, kemudian dia berangkat lagi menuju ke arah timur laut.
Setelah beberapa lamanya mereka berjalan, tiba-tiba di tengah hutan yang lebat itu mereka melihat seorang petani yang sedang berladang.
Petani tersebut bernama Wira Setra yang tinggal menetap di tempat itu. Lalu mereka berjabat tangan dan dan kemudian Wiralodar berkata :
“wahai kakanda, siapakah nama tuan dan dari mana asalnya?", Dia pun menjawab “nama hambba Wira Setra, hamba berasal dari Bagelen Jawa Tengah”.
Lalu Wira Setra pun balik menyanya “Adapun dinda ini dari mana dan mau kemana?", Wiralodra pun menjawab “Nama hamba Wiralodra dan hamba pun datang dari daerah Bagelen juga, kami kesini bermaksud untuk mencari sungai Cimanuk”. Wira Setra tampak sangat gembira, karena sudah lama tidak berjumpa orang lain dan kini bertemu dengan orang se daerah di tengah hutan yang sangat sunyi. Kemudian dia berkata “Hamba ini saudara sepupu dari Adipati Wirakusuma.
Marilah kita pergi ke pondok bambu, agar adinda dapat melepaskan lelah.
Kalau sudah beristirahat, dinda boleh melanjutkan perjalanan kembali, karena sungai Cimanuk yang dinda cari itu terletak di sebleah timur laut dan masih cukup jauh dari tempat ini".

Tempat tersebut ternyata bernama Pamanukan.

Raden Wiralodra tinggal di Pondok Ki Wira Setra sebulan lamanya.
Kemudian pada suatu hari yang cerah Raden Wiralodra berkata kepada Ki Wira Setra :
“Kanda, rasanya sudah cukup lama hamba melepaskan lelah di pondok kanda, hamba sangat berterima kasih atas pertolongan serta kebaikan kanda kepada kami berdua.
Akan tetapi berhubung hamba belum sampai ke tempat yang hamba tuju, maka izinkanlah hamba meninggalkan tempat ini untuk melanjutkan perjalanan”.

“Baiklah dinda, sahut Wira Setra, kanda mengiringi keberangkatan dinda dengan do’a dan restu semoga dinda sampai ke tempat yang dituju dengan selamat”.

Setelah Raden Wiralodra dan Ki Tinggil mengemasi perbekalannya, maka berangkatlah keduanya dengan diiringi pandangan yang sayu dari Ki Wira Setra sambil melambai-lambaikan tangannya.
Setelah beberapa hari lamanya berjalan, sekonyong-konyong tampaklah muka Raden Wiralodra berseri-seri, seakan-akan ada sesuatu yang menggembirakan hatinya.
Memang demikianlah, karena dari jauh Raden Wiralodra melihat sungai besar mengalir dengan derasnya.
Dalam hatinya dia berkata, tentulah ini sungai Cimanuk yang sedang dicarinya.
Maka ia pun berkata : "Hai paman, lihatlah itu ada sungai besar di hadapan kita, agaknya itulah sungai Cimanuk yang sedang kita cari".
Maka keduanya pun mempercepat langkahnya dan tidak lama kemudian mereka telah tiba di tepi sungai itu.
Kemudian terbayanglah rasa kecewa pada paras muka Raden Wiralodra dan ia pun berkata :
"Hai paman, kita telah tiba di tepi sungai ini, akan tetapi benarkah gerangan ini sungai Cimanuk yang kita cari? Kepada siapakah kita bertanya?".

Setelah keduanya berhenti sejenak, sambil melayangkan pandangan di sekeliling tempat itu seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicarinya, maka Raden Wiralodra berkata :
"Hai paman, agaknya di tempat ini tak ada seorang pun yang dimintai petunjuk, marilah kita melanjutkan perjalanan menyusuri tepi sungai ini, mudah-mudahan kita bertemu dengan manusia yang bisa kita meminta keterangan tentang sungai ini".
Dengan tidak berkata sepatah pun Ki Tinggil melangkahkan kakinya mengikuti jejak tuannya menyusuri tepi kali itu.

Ki Sidum yang pernah berjumpa dengan Raden Wiralodra pada awal cerita ini, adalah orang yang sakti mandraguna.
Dia merasa kasihan melihat Raden Wiralodra yang menyusuri daerah tak kunjung sampai ke tempat yang ditujunya, maka ia pun membuat sebuah kebun yang luas dan indah yang penuh dengan aneka tanaman palawija dan buah-buahan.
Adapun pondok Ki Sidum terletak di tepi sungai, sementara penghuninya tampak sedang asik duduk di beranda sambil menyayati bambu.
Tiba-tiba Raden Wiralodra melihat ada kebun terbentang di hadapannya.
Dengan perasaan heran dan gembira ia pun berkata :
"Hai paman, baik benar kebun ini tampaknya, siapakah gerangan pemiliknya? Kurasa disini ada manusia yang bisa kita mintai petunjuk tentang sungai ini".
Setelah Raden Wiralodra melayangkan pandangannya di sekeliling kebun itu, maka tampaklah olehnya tidak seberapa jauh dari tempat dia berdiri, seorang kakek yang sedang asyik duduk sambil menyayat bambu.
Wajah Raden Wiralodra tampak berseri-seri, maka ia pun segera menegur Ki Tinggil :
"Hai paman, kurasa kakek itulah yang memiliki kebun ini"
Sementara itu keduanya mempercepat langkahnya mendekati orang tua yang sedang asyik bekerja.

Setelah memberi salam, maka Raden Wiralodra bertanya :
"Maafkan hamba Kiai, hamba mohon bertanya akan nama sungai ini, dan siapa gerangan pemilik kebun yang indah ini?"
Tiba-tiba orang tua itu menjawab dengan amat kasarnya :
"Apa maksudmu datang kemari dan menginjak-injak kebun ini, apakah engkau mau merampok?
Sungai ini adalah Sungai Pamanukan dan kebun ini adalah kebunku.
Adapun namaku Kiai Malikwarna, enyahlah engkau dari sini".


Bagaikan ditampar rasanya telingan Raden Wiralodra mendengar jawaban orang tua yang amat kasar itu, maka berkatalah ia kepada Ki Tinggil :
"Hai paman, alangkah kasarnya orang ini, ditanya dengan baik-baik tetapi jawabannya membentak-bentak seperti orang yang tidak mengerti sopan santun".
Ki Tinggil menjawab :
"Memang Raden, hamba pun tak mengerti kelakuan orang tua yang aneh ini, akan tetapi kita harus banyak maklum, mungkin orang itu belum pernah bergaul dengan manusia, karena selamanya menjadi penghuni hutan ini".

Raden Wiralodra semakin mendekati orang tua itu dan berkata : "Duh kiai, hamba memohon pertolongan dimanakah gerangan letak Sungai Cimanuk?
Kalau benar sungai ini sungai Cimanuk yang hamba cari, hamba mohon izin untuk ikut serta membuat kebun dan pondok disini.
Adapun hamba berdua ini datang dari daerah sebelah timur dan tiba disini setelah berjalan selama kurang lebih tiga tahun.
Oleh karena itu hamba mohon belas kasihan kiai, dimana pun hamba ditempatkan, hamba akan terima dengan senang".


Kiai Malikwarna segera menjawab dengan amat congkaknya :
"Apa katamu, mau tinggal disini?
Tak sudi aku memberikan kebunku barang sejengkal juga, rakyatku sudah cukup banyak, enyahlah engkau dari sini, tak sudi aku melihatmu lagi".


Raden Wiralodra sudah tak kuasa lagi mengendalikan emosinya, maka ia pun berkata :
"hai orang tua, siapakah gerangan tuan ini, seumur hidupku baru kali ini aku bertemu dengan orang yang tidak tahu apa arti kebaikan.
Diberikan atau tidak bukanlah itu urusan saya, pertahankanlah sekuat tenaga tuan, karena hamba akan merampas kebun tuan ini".

Kia Malikwarna menjawab sambil bertolak pinggang :
"kurang ajar benar engkau ini, kau kira aku tak sanggup mengusirmu dengan kekerasan, rasakanlah olehmu, walaupun usiaku sudah lanjut".

Bagaikan banteng ketaton, Raden Wiralodra menerjang orang tua itu dengan sekuat tenaganya, maka pertempuran pun terjadi dengan sengitnya. Setelah bergumul, tarik menarik, dan dorong-mendorong, maka Raden Wiralodra segera menyergap orang tua itu dan mengangkatnya tingi-tinggi.
Maksudnya akan dijatuhkan ketanah, akan tetapi secepat kilat musnahlah orang tua itu dari pandangannya.
Berbarengan dengan itu lenyap pula kebun yang indah permai itu kembali menjadi hutan belukar.

Raden Wiralodra termenung memikirkan tingkah laku orang tua yang aneh itu, tiba-tiba ia mendengar suara tanpa rupa :
"Hai cucuku Wiralodra, ketahuilah bahwa hamba bernama Ki Sidum.
Adapun sungai ini bukanlah sungai Cimanuk yang sedang tuan cari, melainkan sungai Cipunegara.
Kelak tempat ini akan berdiri desa Pamanukan.
Sekarang teruskanlah perjalanan tuan ke sebelah timur, mana kala tua menjumpai seekor kijang yang bermata berlian, ikutilah dia.
Dimana kijang tersebut lenyap dari penglihatan tuan, disanalah letak sungai Cimanuk yang tuan cari.
Jika kelak tuan membabad hutan Cimanuk itu, bertapalah jangan tdur karena hal itu penting sekali untuk kebahagiaan anak cucu tuan di kemudian hari".


Raden Wiralodra bersama abdinya segera menyeberangi sungai itu dan melanjutkan perjalanannya.
Begitulah perjalanan Raden Wiralodra siang dan malam menjelajahi rimba raya.
Sekonyong-konyong tampaklah olehnya seekor harimau sebesar kuda berdiri di tengah jalan yang hendak dilalui Raden Wiralodra.
Ki Tinggil ketakutan dan berkata :
"Duh Raden lihatlah itu ada harimau besar sekali, ayo kita bersembunyi raden, paman takut sekali".
Kemudian Raden Wiralodra berkata :
"Diamlah paman, biarlah akan hamba tanya harimau itu".
Kemudian Raden Wiralodra menghampiri harimau itu sambil menegur :
"hai harimau, menyingkirlah, jangan menghalangi perjalanan hamba..!"
Raja hutan yang tidak bisa berbicara itu kemudian mengaum dan meloncat hendak menerkam Raden Wiralodra yang berdiri di hadapannya.
Secepat kilat pula Raden Wiralodra mengelak ke samping sambil mengayunkan tinjunya yang amat keras.
Sambil mengaum sebagai tanda kesakitan.
Harimau itu pun lenyap dari penglihatannya.
Tiba-tiba datanglah ular besar menghampiri Raden Wiralodra, tetapi ki Tinggil dengan tangkasnya memukul kepala ular tersebut.
Seperti halnya harimau, ular tadi pun lenyap dari pandangan yang diiringi munculnya sebuah sungai besar.
Raden Wiralodra dan Ki Tinggil sangat tercengang menyaksikan segala peristiwa aneh yang baru saja dialaminya.
Untuk meyakinkan hatinya akan kebenaran sungai yang dilihatnya itu, ia pun segera mengeluarkan azimatnya berupa senjata cakra dan dipukulnya ke sungai itu.

Maka sungai pun lenyap dari pandangannya kemudian muncul seorang perempuan yang cantik jelita menghampiri Raden Wiralodra seraya berkata :
"Hai satria, mengapakh tuan hamba ada di tengah rimba raya ini, Hamba masih gadis dan nama hamba Larawana.
Jika tuan hamba sudi mempersunting hamba, hamba akan memberi pertolongan kepada tuan serta kesaktian dan kekayaan".

Sambil berlari kecil Ki Tinggil menghampiri Raden Wiralodra dan berkata dengan langgam memperingati :
"Duh gusti, ingatlah kita berada di tengah hutan".
Raden Wiralodra segera menjawab : "Hamba tak gentar paman, biarlah akan saya tanya".
Raden Wiralodra berkata :
"Wahai tuan puteri, rasanya tidak layak seorang perempuan secantik tuan puteri ini berada di tengah hutan dan mengatakan masih gadis, belum bersuami.
Hamba datang kemari bukan untuk mencari isteri dan hamba pun tidak hendak menikah sebelum hamba mencapai cita-cita".


Dewi Larawana mendesak Raden Wiralodra dan berkata :
"Hai Raden, penolakan tuan merupakan penghinaan yang tidak ada taranya bagi hamba. Oleh karena itu hamba akan tebus penghinaan tuan dengan jiwa hamba".
Bagaikan kilat Dewi Larawana menyerang Raden Wiralodra, tetapi secepat itu pula Raden Wiralodra mengelak dari serangan Dewi Larawana sambil mendorong sekuat-kuatnya sehingga Dewi Larawana jatuh tersungkur.
Dewi Larawana bangkit lagi dan mencoba menyerang untuk kedua kalinya, akan tetapi Raden Wiralodra telah sipa untuk menangkis serangannya.
Demikianlah perang tanding segera terjadi dengan amat sengitnya, masing-masing mengeluarkan ilmunya, namun Raden Wiralodra tampak lebih unggul.
Dewi Larawana segera mengeluarkan senjatanya berupa rantai dan menantang Raden Wiralodra.
Dewi Larawana berkata :
"Wahai satria, terimalah senjata hamba ini".
Kemudian Raden Wiralodra pun membalasnya :
"Tuan puteri tidak usah banyak bicara, lepaskanlah senjatamu, dada hamba telah siap untuk menerimanya".

Maka dilepaslah senjata rantai itu dan tepat mengenai dada Raden Wiralodra.
Ki Tinggi yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu, tanpa disadarinya memekik terkejut sambil menutup mata, ketika senjata itu tepat mengenai dada Raden Wiralodra.
Gemerincing suara senjata itu bagaikan besi beradu dengan baja.
Sedikitpun tubuh Wiralodra tidak terluka oleh senjata itu.
"Sakti benar tuan hamba ini, sekarang tibalah giliran tuan untuk membalas" kata Larawana.
Dengan tidak berkata sepatahpun Raden Wiralodra mengeluarkan senjata cakranya dan dilepaskan ke arah Dewi Larawana.
Saat senjata itu mengenai tubuhnya, laksana halilintar memancarkan cahaya terang benderang dan Dewi Larawana pun hilang seketika.
Berbarengan dengan lenyapnya Dewi Larawana muncullah seekor kijang kencana.
Raden Wiralodra pun teringat akan pesan Ki Sidum yang mengatakan :
"kelak jika tuan melihat seekor kijang kencana bermatakan intan berlian, disitulah letak sungai Cimanuk".

Tanpa membuang-buang waktu Raden Wiralodra dan Ki Tinggil segera mengejar Kijang itu yang lari dengan cepatnya menuju ke sebelah timur.
Raden Wiralodra dan Ki Tinggil terus mengikutinya dari belakang.
Tiba-tiba lenyaplah kijang itu dari penglihatannya, kemudian tidak jauh dari tempat itu tampak olehnya sebuah sungai besar yang airnya mengalir dengan derasnya.
Itulah sungai Cimanuk yang dicarinya selama bertahun-tahun.
Raden Wiralodra dan Ki Tinggil beristirahat melepas lelah di bawah sebatang pohon kiara besar dan rindang.
Mereka berdua kelelahan karena mengejar kijang kencana tadi.
Keduanya tertidur dengan nyenyaknya.

Dalam tidurnya itu Raden Wiralodra bertemu dengan Ki Sidum dan berkata :
"Hai cucuku, inilah hutan Cimanuk yang tuan cari, disinilah kelak tuan bermukim dan anak cucu tuan dengan tentram dan berbahagia".
Raden Wiralodra terkejut dan bangun dari tidurnya, sementara Ki Tinggil masih kedengaran mendengkur di sisinya.
Raden Wiralodra segera membangunkan pembantunya yang setia itu seraya berkata :
"Aku tadi bermimpi mendengar suara yang mengatakan bahwa inilah letak hutan Cimanuk yang kita cari".
Ki Tinggil menjawab : "jika demikian marilah kita segera mencari tempat yang baik untuk membuat gubug dan ladang".
Maka keduanya segera berangkat dan berjalan sambil melihat-lihat dimana sebaiknya membuat gubug dan ladangnya didirikan.
Akhirnya mereka mendapatkan tempat yang baik sesuai dengan seleranya dan mereka segera memulai menebang hutan dan dibuatnya sebuah pondok kecil untuk tempat tinggalnya.
Adapun tempat yang dipilihnya itu terletak di sebelah barat ujung sungai Cimanuk.
Raden Wiralodra dan Ki Tinggil setiap harinya bekerja keras membuat sawah dan ladang sambil tirakat seperti yang telah dipesankan oleh Ki Sidum.
Segala binatang penghuni rimba raya seperti harimau, banteng, badak dan sebagainya lari ketakutan karena merasakan sangat panas.
Demikian pula segala makhluk halus seperti jin, setan dan durbiksa lari bertebaran meninggalkan tempat itu.

Diceritakan di hulu sungai Cimanuk ada sebuah kerajaan siluman.
Adapun yang bertahta sebagai rajanya adalah Budipaksa, sedang yang menjadi patihnya adalah Bujarawis.
Pada suatu hari Raja Budipaksa dan Patihnya sedang duduk di singgasana, didepannya ada para mantri dan hulubalang yang terdiri dari segala jin merkayangan dan para makhluk halus.
Patih Bujawaris segera datang dan menyembah rajanya :
"Daulat tuanku, menurut laporan yang hamba terima dari para mantri dan hulubalang, banyak rakyat dedemit akhir-akhir ini melarikan diri karena ketakutan dan merasa kepanasan. Demikian pula binatang dari yang kecil sampai kepada binatang yang besar-besar. Kabarnya di hutan Cimanuk ada manusia pendatang yang sedang menebangi hutan untuk dijadikan tempat tinggalnya".

Mendengar laporan Maha Patih Bujarawis itu, Raja Budipaksa amat murkanya, karena daerah kekuasaannya diganggu oleh manusia pendatang tanpa sepengetahuannya.
Maka iapun berkata :
"Hai patih, siapa manusia yang berani berbuat kurang ajar di daerah kekuasaan kami? Kumpulkan semua wadyabala dedemit dan perintahkan supaya segera menangkap manusia yang lancang tangan itu".
Patih Bujawaris segera mohon diri untuk melaksanakan perintah sang raja dan mengepung tempat Wiralodra dan Ki Tinggil yang sedang bekerja. Raja Budipaksa yang lebih dahulu datang ke tempat Wiralodra bekerja segera menegur dengan geram dan berkata :
"Hai satria apa sebabnya engkau berani merusak daerah kekuasaanku dan mengusir rakyatku, siapa yang memberi izin kepadamu untuk berbuat selancang itu. Enyahlah engkau dari sini, kalau tidak ketahuilah olehmu bahwa aku adalah Raja Budipaksa, Raja segala dedemit dan merkayangan yang memerintah daerah ini".
Dengan tenang Raden Wiralodra menjawab ancaman raja Budipaksa, dia pun berkata :
"Hai Budipaksa, hutan ini diciptakan oleh Tuhan untuk dimanfaatkan oleh manusia dan akulah manusia yang akan memanfaatkannya.
Kalau memang engkau tinggal disini, tinggallah dengan tenang bersama kami, aku tidak akan mengganggumu dan engkaupun jangan menggangguku, kita sama-sama makhluk Tuhan walaupun berlainan jenisnya".

Akan tetapi Raja Budipaksa yang sedang marah dan sok berkuasa tersebut, merasa dihina oleh kata-kata Wiralodra, karena itu ia semakin meluap-luap emosinya dan berkata :
"Hai manusia, jangan banyak bicara, kalau engkau tidak segera meninggalkan tempat ini, akan kupatahkan batang lehermu".
Wiralodra pun mulai naik darah mudanya, maka iapun menjawab :
"Hai iblis, kau sangka aku takut kepadamu, memangnya leherku kau sangka biting yang mudah dipatahkan oleh sembarang orang?".
Sementara wadyabala dedemit secara semrawutan mengeroyok Wiralodra.
Ki Tinggil yang mengetahui peristiwa itu segera membaca do’a yang membuat wadyabala dedemit lumpuh tak sanggup melawan Raden Wiralodra.

Semua wadyabala dedemit lari tunggang langgang, tidak sanggup lagi berkelahi melawan Raden Wiralodra , kecuali seorang yang kelihatan sangat tangguh, masih terus berkelahi melawan Raden Wiralodra, orang itu adalah Pangeran Werdinata yaitu raja dari Pulo Mas.
Tiba-tiba datanglah duta dari Tunjung Bang bernama Kala Cungkring dan Langlang Jagat.
Mereka menghampiri Pangeran Werdinata seraya berkata :
"Hai pangeran, janganlah pangeran berani mengganggu Raden Wiralodra sebab beliau itu adalah keturunan dari Majapahit.
Lebih baik kalian bersahabat".

Keduanya menghentikan pertikaian dan saling meminta maaf atas kehilafannya.
Wiralodra tercengang, dia pun bertanya :
"Siapakah gerangan Tuan Hamba ini, mengapa pula sekonyong-konyong memohon maaf kepada hamba..?"
Pangeran Werdinata menjawab :
"Adapun hamba adalah Raja Pulo Mas dan nama hamba Werdinata".
"Syukurlah kalau begitu", jawab Wiralodra, marilah kita jalin persaudaraan sampai kepada anak cucu kita kelak.
Kemudian Pangeran Werdinata meninggalkan Raden Wiralodra kembali ke tempatnya di Pulo Mas.
Setelah perang selesai dan diakhiri dengan persahabatan, maka Raden Wiralodra dan Ki Tinggil melanjutkan pekerjaannya membabad hutan tanpa ada gangguan dan dijadilkan ladang tempat mereka bercocok tanam dan mendirikan rumahnya.

Lambat laun tersiar kabar ke segenap pelosok, bahwa di hutan Cimanuk telah berdiri sebuah pedukuhan yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi.
Maka secara berangsur-angsur datanglah pemukim-pemukim baru dari segenap penjuru, sehingga penduduk pedukuhan Cimanuk itu lambat laun menjadi banyak.
Setelah beberapa lama Raden Wiralodra dan Ki Tinggil membina pedukuhan itu dan penduduknya telah bertambah banyak, maka pada suatu hari Raden Wiralodra berkata kepada Ki Tinggil :
"Hai paman, rasanya sudah cukup lama aku pergi merantau meninggalkan kampung halaman serta keluargaku di Bagelen.
Sehubungan dengan itu aku berhasrat ingin pulang mengunjungi ayah dan ibu yang sudah lama ditinggalkan dan sudah barang tentu mereka ingin mendengar bagaimana cerita perjalanan kita selama ini.
Dan engkau paman tinggallah disini, bimbinglah rakyat dengan baik-baik supaya mereka rajin bercocok tanam.
Jagalah keamanan serta kesejahteraan rakyat, kalau ada pendatang baru yang ingin bertempat tinggal disini, terimalah dengan senang hati dan berilah tanah secukupnya".

Setelah selesai mengucapkan pesannya, maka Raden Wiralodra pun berangkat meninggalkan Ki Tinggil.
Ki Tinggil hanya bisa memandangi Raden Wiralodra dengan wajah sayu hingga tuannya lenyap dari pandangannya.

Singkat cerita Raden Wiralodra sudah tiba di Banyuurip tempat tinggal ayah dan ibunya.
Maka Raden Wiralodra segera menghadap ke orang tuanya, kebetulan ayah dan bundanya sedang duduk-duduk dan bercanda dengan ketiga saudaranya yaitu Rade Wangsanegara, Tanujaya, dan Tanujiwa.
Mereka tercengang ketika tiba-tiba muncul Raden Wiralodra setelah sekian lamanya pergi meninggalkan kampung halamannya.
Suasana tangis kegembiraan segera meliputi keluarga yang bahagia itul Setelah itu peluk cium terjadi seperti biasanya sebagai luapan rasa sono dan kasih sayang, kemudian mereka pun duduk di tempatnya masing-masing.
Setelah suasana menjadi tenang, maka ibundanya memulai membuka percakapan :
"Hai engkau Wira, sungguh tak ibu sangka bahwa engkau akan kembali dengan selamat, cobalah ceritakan bagaimana pengalaman perjalananmu yang memakan waktu sekian lamanya mencari hutan Cimanuk".
Oleh Raden Wiralodra dipaparkan semua kisah perantauannya selama tiga tahun lebih itu dari awal sampai kepada akhirnya.
Kemudian ayahnya berkata :
"Hai anak-anakku, kini ayah telah berusia lanjut, kamulah kelak yang akan menggantikan ayah memerintah disini. Sekarang kalian telah berkumpul, ayah berharap janganlah pergi dari sini, agar kalian dapat belajar dari pengalaman ayah, bagaimana cara memerintah negara.
Khususnya engkau Wiralodra, janganlah engkau tergesa-gesa kembali ke daerah Cimanuk sebelum disana penduduknya bertambah banyak.
Raden Wangsanegara bersama keempat adiknya mendengarkan dengan tenang nasehat ayahnya".


Ki Tinggil yang ditinggal di hutan Cimanuk setiap hari bekerja keras memelihara ladangnya.
Lambat laun banyaklah pendatang baru yang ingin ikut bermukim di pedukuhan Cimanuk itu yang disambut oleh Ki TInggil dengan segala senang hati sesuai dengan pesan tuannya.
Mereka pun mendirikan rumah-rumah baru setelah Ki Tinggil menunjukkan lokasi tempat dimana mereka membangun rumahnya, dan dimana pula mereka harus bercocok tanam.
Palawija tumbuh dengan amat suburnya sehingga bagi para pemukim baru bahan makanan cukup tersedia tanpa ada sesuatu kekurangan.
Demikianlah dari hari ke hari dan dari minggu ke minggu penduduk baru senantiasa bertambah jumlahnya sehingga mencapai lebih kurang seratus kuren atau kurang lebih 500 jiwa.
Ki Tinggil sangat senang hatinya menyaksikan penduduk yang bekerja dengan giat, rukun tentram, tak ada sesuatu yang menyulitkan keadaan.
Harapannya hanyalah semoga tuannya segera kembali dengan tak kurang sesuatu apa pun.
Ki TInggil telah mempunyai pembantu-pembantu untuk mengurus rakyat sehari-hari, yaitu Surantaka, Bayantaka, Puspahita dan lain-lain.

Atas perintah Ki Tinggil yang telah diangkat menjadi lurah mereka mulailah rakyat membuat jalan-jalan, jembatan, saluran air dan gardu penjagaan.
Rakyatpun amat patuh kepada segala peraturan yang mereka buat sendiri dengan jalan musyawarah.
Pendatang-pendatang baru terus mengalir, diantaranya terdapat seorang wanita yang cantik rupawan, datang dengan diirigi oleh dua pembantunya.
Mereka datang dengan membawa bibit-bibitan yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, seperti padi, jagung, pepaya dan sayur-sayuran, langsung menuju tempat kediaman Ki TInggil.
Ki Tinggil yang mengetahui ada tamu pendatang baru, segera mempersilakan tamunya masuk dan mengambil tempat duduk.
Ki Tinggil segera menegur tamunya dengan ramah tamah.
"Siapakah gerangan tuan hamba ini dan apa maksud tuan hamba datang kemari dan dari mana pula asal tuan hamba..?"
Wanita cantik itu menjawab semua pertanyaan tuan rumah dengan sopan sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.
"Nama Hamba Endang Darma, sedang kedua pembantu hamba ini bernama Tana dan Tani.
Hamba datang dari pengembaraan untuk mencari tempat pemukiman yang baik.
Hamba mendengar berita bahwa di lembah sungai Cimanuk ada orang membuka tanah yang subur untuk bercocok tanam, Itulah yang menarik hamba datang kemari, jika tuan mengizinkan hamba ingin turut bermukim disini sebagai rakyat Pak Lurah".

Mendengar ucapan Nyi Endang Darma yang lemah lembut serta sopan santun, Ki Tinggil segera menjawab :
"Kalau demikian maksud tuan hamba pun tidak keberatan silakan tuan hamba memilih tempat yang baik dimana saja tuan hamba menyukainya, karena tanah disini masih cukup luas".
Setelah mendapat izin dari Ki Tinggil Nyi Endang Darma mohon diri sambil mengucapkan terima kasih, kemudian pergi mencari tempat untuk tempat tinggal dan bercocok tanam.

Setelah Nyi Endang Darma pergi, Ki Tinggi termenung mengagumi kecantikan Nyi Endang Darma serta perilakunya yang mengecewakan sedikit pun.
Dalam hatinya ia berkata :
"Alangkah cantiknya wanita ini lagi pula sopan dan santun dalam tindak tanduknya. Pantas benar andaikata ia mendampingi Raden Wiralodra sebagai isterinya".
Setelah dipilihnya tempat yang baik, maka mereka pun segera mulai mendirikan rumah dan membuat ladang.
Ladangnya tumbuh dengan suburnya sehingga tetangganya banyak yang meminta nasehat kepada Nyi Endang Darma, bagaimana cara bercocok tanam yang baik dan bisa mendapatkan hasil yang melimpah.
Lambat laun semua penduduk di pedukuhan Cimanuk itu berguru kepadanya.
Nama Nyi Endang Darma jadi masyhur dan terdengar ke mana-mana.
Karena selain mengajarkan ilmu pertaniannya, Nyi Endang Darma juga mengajarkan juga ilmu kanuragan.
Kabar tersebut terdengan hingga ke negeri Palembang.
Seorang pangeran yang mengajarkan ilmu kanuragan dan banyak pula muridnya, yakni Pangeran Guru mendengar hal tersebut bahwa di lembah Cimanuk ada seorang wanita yang cantik yang mengajarkan ilmu kanuragan.

Mendengar kabar tersebut dia tergerak hatinya untuk mencoba sampai dimana kebolehan wanita tersebut dalam hal ilmu kanuragan.
Memang begitulah watak seseorang yang merasa paling unggul dalam sesuatu hal, hingga akhirnya dia mengumpulkan murid-muridnya untuk diajak pergi ke lembah Cimanuk dengan tujuan hendak menguji kemampuan Nyi Endang Darma.
Kemudian mereka berangkat menuju ke Lembah Cimanuk di Pulau Jawa.
Setibanya di muara sungai Cimanuk, Pangeran Guru bersama murid-muridnya yang berjumlah 24 orang, langsung menuju ke rumah Nyi Endang Darma.

Adapun Nyi Endang Darma yang sedang sibuk bekerja sangat terkejut ketika melihat orang banyak menuju ke rumahnya dan masing-masing bersenjata lengkap.
Nyi Endang Darma seperti kebiasaannya segera keluar menyongsong kedatangan tamunya yang tidak dikenalnya itu dengan ramah dan sopan. Kemudian dia berucap :
"Bahagialah saya kedatangan tamu agung, saya persilakan mengambil tempat seadanya.
Maafkanlah hanya inilah tempat hamba yang kurang pantas untuk menerima kedatangan tamu agung".

Pangeran Guru beserta muridnya pun tercengang menyaksikan keelokan paras Nyi Endang Darma dan tingkah lakunya yang sangat ramah terhadap tamu yang belum dikenalnya.
Dalam hatinya mereka bertanya :
"benarkah wanita secantik ini mengajarkan ilmu kanuragan yang biasanya hanya dikerjakan oleh pria?".

Pangeran Guru termenung sejenak seakan-akan dalam keadaan bermimpi tak tahu apa yang hendak dilakukannya.
Tiba-tiba terperanjat mendengar pertanyaan Nyi Endang Darma yang lemah lembut :
"Duh Gusti, hamba sangat terkejut dan takut menerima kedatangan tuan hamba yang tiba-tiba ini, darimana asal negeri tuan hamba dan apakah gerangan maksud kedatangan tuan hamba di pondok hamba yang buruk ini..?
Jika hamba perhatikan pakaian serta perlengkapan tuan hamba, tampaknya seperti ada sesuatu yang sangat penting.
Ataukah barangkali tuan hamba sedang mencari seseorang yang melarikan diri dan disangka bersembunyi di pondok hamba ini, silakan tuan teliti".
Pengeran Guru menjawab dengan agak kaku :
"Adapun nama hamba adalah Pangeran Guru, dari negeri Palembang.
Dan mereka itu adalah murid-murid hamba.
Kedatangan hamba kemari memang ada yang dicari, yaitu seorang wanita yang bernama Nyi Endang Darma yang katanya mengajarkan ilmu kanuragan seperti kelakuan seorang pria.
Berhubung dengan itu kami dari perguruan kanuragan di Palembang ingin mengetahuui dan ingin pula mencoba, apakah kami masih harus berguru lagi kepada seorang wanita.
Itulah sebabnya maka dari jauh kami datang ke sini".

Nyi Endang Darma berekata :
"Duh Gusti, tidak hamba sangka bahwa diri hamba akan mendapatkan penghormatan sedemikian besarnya, sehingga seorang pangeran bersama murid-muridnya berkenan datang ke pondok hamba, hanya karena ingin mencoba ilmunya, apakah tuan hamba rela mengorbankan kehormatan serta kedudukan tuan hamba sebagai seorang pangeran dan seorang guru pula.
Hanya untuk bermain-main dengan seorang wanita dusun yang tidak tahu apa-apa seperti hamba ini?".


Pangeran Guru merasa tersindair oleh ucapan Nyi Endang Darma yang halus tetapi menyengat itu, maka ia pun segera menjawab :
"Hai Nyi Endang Darma, tak usah engkau banyak ulah untuk merayu, sehingga kami membatalkan maksud kedatangan kami dari tempat yang jauh".
Bagaikan disengat kalajengking Nyi Endang mendengar ucapan Pangeran Guru yang penuh penghinaan serta kesombongan itu, maka ia pun segera menjawab :
"Duh Gusti, tidak hamba sangka sedikitpun bahwa seorang satria bahkan seorang pangeran sanggup mengeluarkan kata-kata yang sangat menghina martabat wanita.
Apakah tuan hamba tak dapat memilih kata-kata lain yang lebih baik terhadap seorang wanita..?
Kiranya bisa dimaafkan kalau tamu seperti itu tuan hamba ini harus diusir, jika perlu dengan pucuk senjata.
Apakah tuan hamba mengira bahwa Nyi Endang Darma akan dapat ditakut-takuti dengan jumlah murid tuan yang banyak dan bersenjata lengkap..?"


Pangeran Guru kehilangan akal menerima tantangan Nyi Endang Darma yang pedas didengar telinga itu, maka ia pun berteriak memberi perintah kepada murid-muridnya untuk menangkap Nyi Endang Darma.
Mendengar perintah sang Guru, maka Pangeran Wisanggeni, Pangeran Bramakendali dan Pangeran Bratakusumah meloncat ke depan untuk menangkap Nyi Endang Darma dan menyeretnya ke luar rumah.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara Nyi Endang Darma di satu pihak, dengan Pangeran Guru beserta murid-muridnya di pihak lain.
Dalam bitotama (Perang) itu ternyata Nyi Endang Darma tidak kelihatan repot, tetapi tenang-tenang saja menghadapi segala macam serangan yang ditujukan terhadap dirinya.
Satu demi satu murid Pangeran Guru diserang dengan selendangnya dan dipukul kemudian ditikam dengan kerisnya, sehingga semua murid Pangeran Guru mati dalam pertempuran itu.
Yang terakhir tibalah giliran Pangeran Guru sendiri yang dijadikan bulan-bulan oleh Nyi Endang.
Setelah merasa puas mempermainkan Pangeran Guru, maka pangeran itu pun mendapat gilirannya untuk dikirim ke akherat.
Melihat kejadian itu Ki Tinggil sangat prihatin dan takut dimarahi tuannya, karena ia dipesan supaya memelihara kesejahteraan rakyat, menjaga keamanan seta memajukan pertanian dan pembangunan, akan tetapi sebaliknya malah terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan itu, yang menyebabkan kematian Pangeran Guru berikut murid-muridnya.
Menurut cerita rakyat jenazah para Pangeran itu dimakamkan di belakang Masjid Dermayu (Masjid Penganten) sekarang.
Ki Tinggil segera memanggil para pembantunya dan berkata kepada Ki Pulaha :
"Hai Pulaha, amat sedih hatiku jika memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi kemarin itu, Tentu saya kan dimarahi oleh Gusti Wiralodra. Sebelum beliau kembali, kupikir lebih baik aku pergi ke Bagelen untuk memberitahukan beliau tentang terjadinya peristiwa berdarah itu.
Tinggallah engkau disini, jagalah keamanan dan kesejahteraan rakyat sebaik-baiknya".


Singkat cerita Ki Tinggil sudah sampai di Bagelen dan segera menghadap Raden Wiralodra.
Ki Tinggil diterima oleh Raden Tumenggung Singalodra dan beliaupun segera menyapanya.
"Hai Ki Tinggil, aku heran mengapa engkau tiba-tiba datang ke Bagelen, padahal gustimu sedang berada di sini.
Apakah ada kejadian yang penting, ataukah barangkali hanya ingin pulang untuk melaporkan perkembangan penduduk disana?.
Syukurlah jika hanya berita itu yang akan kau sampaikan".

Ki Tinggil sambil menyembah segera berkata :
"Duh Gusti, sepeninggal Raden Wiralodra, rakyat di pedukuhan CImanuk dalam keadaan sejahtera, semuanya hidup dengan tenang dan tentram tidak kurang suatu apa pun.
Sawah dan ladang tumbuh dengan subur, sementara rakyat senantiasa bekerja keras untuk membangun".

Lalu dia melanjutkan pembicaraannya :
"Tiba-tiba pada suatu hari dengan cara yang aneh sekali, datanglah seorang perempuan yang cantik parasnya diiringkan oleh dua orang abdinya, mohon izin untuk bermukim di daerah pedukuhan CImanuk.
Sudah barang tentu hamba izinkan sesuai dengan pesan Raden Wiralodra.
Supaya setiap pendatang baru diterima dengan baik dan diberi tempat".

Kemudian dia melanjutkan pembicaraannya :
"Wanita itu mengaku bernama Nyi Endang Darma, sedangkan kedua pembantunya bernama Tana dan Tani.
Ternyata wanita itu bukan saja cantik rupanya, akan tetapi sangat pandai.
Padai bercocok tanam dan pandai mengambil hati rakyat, sehingga semua rakyat mau berguru kepadanya dalam hal bercocok tanam.
Kelebihan lain yang dimiliki Nyi Endang adalah dia memiliki kesaktian mandraguna dan mau mengajarkan ilmu kanuragan kepada rakyat.
Hamba pun membiarkan saja, sebab memang rakyat perlu dilatih bagaimana cara membela diri, kalau sewaktu-waktu diperlukan".



Pendek kata sejak Nyi Endang Darma tiba di pedukuhan Cimanuk, rakyat disana bertambah maju dan rajin bekerja, sehingga Nyi Endang Darma sangat disegani oleh penduduk dan besar pula pengaruhnya.
Malahan pernah terlintas dipikiran hamba, alangkah pantasnya andaikata Nyi Endang Darma menjadi isteri Raden Wiralodra.
Lambat laun Nyi Endang mulai mengajarkan ilmu-ilmu kesaktiannya kepada penduduk, sehingga rakyat berduyun-duyun datang kepadanya untuk berguru, malahan banyak menarik pendatang baru yang sengaja datang hanya untuk berguru ilmu kesaktian kepadanya.
Tidak berlebihan kiranya jika hamba katakan bahwa pedukuhan Cimanuk bertambah maju dan makmur setibanya Nyi Endang Darma disana, malahan hamba dengan jujur harus mengakui bahwa penguasa daerah Cimanuk itu tanpa disengaja, kenyataannya telah berpindah tangan ke tangan Nyi Endang Darma.
Walaupun dalam segala gal Nyi Endang Darma tidak pernah meninggalkan musyawarah dengan hamba, demikianlah keadaan daerah Cimanuk dengan rakyatnya yang hidup berbahagia, subur makmur, gemah ripah loh jinawi.

"Tiba-tiba datang Pangeran Guru bersama muridnya sebanyak 24 orang untuk menghukum Nyi Endang Darma yang dianggap menandingi Pangeran Guru, karena Nyi Endang Darma berani mengajarkan ilmu kesaktian kepada penduduk, walaupun Nyi Endang Darma dengan segala kerendahan hati dan sopan santun menyanggah segala tuduhan Pangeran Guru, tetapi di tetap menuduh Nyi Endang Darma sehingga Nyi Endang kehabisan kesabarannya".
"Akhirnya terjadi bitotama atau peperangan antara Nyi Endang Darma dengan Pangeran Guru yang dibantu murid-muridnya.
Tetapi tidak seorang pun mampu menandingi kesaktian Nyi Endang Darma.
Pertempuran berlangsung beberapa hari lamanya yang diakhiri dengan meninggalnya Pangeran Guru bersama semua muridnya".

Itulah sebabnya hamba segera mengahadap kemari Ucap Ki Tinggil.
Ayah Raden Singalodra Tumenggung Bagelen mendengarkan dengan seksama semua laporan Ki Tinggil, kemudian dia berkata :
"Hai Wiralodra, asal kamu tahu Pangeran Guru dari Palembang tersebut masih saudaramu karena keturunan dari Majapahit juga.
Oleh karena itu engkau dan Ki Tinggil harus segera kembali ke Pedukuhan Cimanuk".

Ayah Raden Singalodra lalu melanjutkan percakapannya :
"Tangap Nyi Endang Darma, kalau ia melawan, potonglah lehernya, kali ini kau harus membawa saudara-saudaramu, sebab Nyi Endang sangat sakti mandraguna.
Berhati-hatilah dalam menentukan segala siasatmu agar Nyi Endang Darma bisa ditangkap dengan mudah".


Setelah itu Raden Wiralodra segera berkemas-kemas untuk berangkat ke Pedukuhan Cimanuk.
Sesudah mohon do’a restu kepada ayah bundanya, maka mereka kemudian berangkat kembali ke Pedukuhan Cimanuk.
Sesampainya di Pedukuhan Cimanuk, mereka langsung menuju ke tempat kediaman Ki Tinggil.
Jenjang Krawat pembantu utama Ki Tinggil, Bayantaka, Pulaha dan lain-lain sangat bergembira melihat gustinya datang bersama saudara-saudaranya dan tidak pula ketinggalan Ki Tinggil sebagai Lurahnya.
Setelah mereka beristirahat sejenak, Raden Wiralodra memanggil Ki Puaha seraya berkata :
"Hai paman Pulaha, ikutilah keberangkatan Ki Tinggil yang menyuruh memanggil Nyi Endang Darma dan pengikutnya supaya datang kesini sekarang juga.
Berhati-hatilah paman, jangan sampai ia tidak kebawa kesini sekarang juga".

Maka mereka pun berangkat menuju ke rumah Nyi Endang Darma.

Nyi Endang Darma sangat terkejut melihat kedatangan Ki Tinggil dan Pulaha ke rumahnya, dan mengambil tempat duduk, kemudian membahas kedatangannya.
Lalu berkata :
"Setelah sekian lamanya meninggalkan pedukuhan Cimanuk, apa kabar paman, kemana saja paman pergi selama ini, mengapa paman tidak memberi tahu, sehingga hamba tak sempat memberi bekal apa-apa untuk diperjalanan".
Lalu Ki Tinggil menjawab :
"Tuan puteri, hamba mohon beribu-ribu maaf atas kelalaian hamba pergi meninggalkan pedukuhan ini tanpa memberitahu terlebih dahulu kepada tuan puteri.
Ketika terjadi perkelahian antara Tuan Puteri dengan Pangeran Guru, hamba menyaksikan semua peristiwa menyedihkan itu dari awal hingga akhir, Hamba sangat takut, karena hamba bersembunyi saja di balik semak-semak tidak berani pulang ke kampung".

"Tiba-tiba terlintas di dalam hati hamba untuk meneruskan perjalanan hamba ke Bagelen, hingga akhirnya hamba pergi ke Bagelen.
Setelah beberapa lama tinggal di Bagelen hamba kembali ke sini bersama Gusti Raden Wiralodra dan saudara-saudaranya Raden Wangsanegara, Raden Wangsayuda, Raden Tanujaya, dan Raden Ranujiwa.
Tadi Raden Wiralodra mengutus hamba untuk mengundang Tuan Puteri, agar berkenan datang ke pondok hamba sekarang juga.
Gusti Raden Wiralodra sangat menanti kedatangan tuan puteri Nyi Endang Darma".

Nyi Endang Darma berkata :
"Baiklah paman, hamba akan datang akan tetapi perkenankanlah hamba berganti pakaian sebentar, sambil cepat-cepta masuk ke kamarnya".
Sementara Ki Tinggil dan Ki Pulaha menantinya di luar.

Tidak berselang lama kemudian Nyi Endang Darma pun keluar dari kamarnya setelah mengenakan pakaian yang serba indah dan gemerlap.
Bagaikan bidadari baru turun dari Kayangan Nyi Endang Darma kelihatan luar biasa cantiknya sehingga Ki Tinggil dan Ki Pulaha tertegun melihatnya.
Kalau tidak segera mendengar suara Nyi Endang Darma yang mengajaknya berangkat, mungkin akan lama terdiam.
Dengan sikap yang gugup mereka mempersilakan Nyi Endang Darma berjalan di muka dan mereka mengiringnya di belakang.
Setibanya di rumah Ki Tinggil, Nyi Endang Darma disambut oleh Raden Wiralodra dan dipersilakan duduk, Nyi Endang Darma segera menyembah dan duduk sambil menundukkan kepalanya, seakan-akan merasa takut menghadapi pandangan Raden Wiralodra.

Raden Wiralodra Walaupun di dalam hatinya sangat mengagumi kecantikan Nyi Endang Darma dan merasakan adanya sesuatu yang aneh di dalam hatinya, namun perasaannya itu disembunyikannya, maka ia pun segera mulai percakapannya:
"Hamba ini tamu yang baru saja datang, akan tetapi hamba ingin sekali berjumpa dengan tuan puteri".
Nyi Endang Darma segera menjawab :
"Duh gusti, hamba mohon beribu-ribu ampun, kedatangan hamba di pedukuhan ini bermaksud hendak menumpang hidup disini, bersawah dan berladang.
Hamba akan mentaati segala peraturan yang berlaku disini".

"Ya itu tak mengapa", sahut Raden Wiralodra memohon kalimat Nyi Endang Darma.
"Sesungguhnya telah hamba perintahkan kepada Paman Tinggil, supaya memberi izin kepada siapapun yang ingin ikut bermukim disini dan mau bergotong-royong membangun pedukuhan yang masih baru ini".
"Hanya ada sesuatu hal yang hamba ingin mendengar langsung dari yang bersangkutan sendiri mengenai peristiwa meninggalnya Pangeran Guru bersama murid-muridnya.
Ceritakanlah sebenar-benarnya asal mula terjadinya sengketa berdarah itu".

Dengan paras muka yang tenang, Nyi Endang Darma memulai ceritanya :
"Duh gusti, hamba berani bersumpah dengan menyebut nama Allah Yang Maha Kuasa, bahwa hamba berkata sebenarnya, adapun asal mula kejadian peristiwa berdarah itu ialah sebagai berikut :"
"Pada suatu hari ketika hamba sedang bekerja di rumah, tiba-tiba hamba dikejutkan dengan kedatangan serombongan orang yang bersenjata lengkap dan berpakaian seperti orang yang akan berangkat ke medan perang.
Menurut pengakuannya sendiri mereka itu adalah Pangeran Guru dari Palembang bersama murid-muridnya yang berjumlah 24 orang.
Seperti biasanya sebagai tuan rumah yang kedatangan tamu, hamba terima mereka dengan sikap ramah-tamah. Akan tetapi tanpa lebih dahulu bertanya itu dan ini, Pangeran Guru yang menjadi pemimpin mereka, memaki hamba dan menuduh hamba yang bukan-bukan, yaitu hamba dituduh menentangnya.
Karena hamba dituduh mengajarkan ilmu kesaktian kepada rakyat disini.
Padahal sebenarnya hamba hanya memberi petunjuk kepada mereka bagaimana cara bercocok tanam yang baik dan bagaimana cara menjaga keamanan di kampung halaman.
Hamba telah mencoba memberi penjelasan kepada beliau mengenai duduk persoalannya, akan tetapi tampaknya Pangeran Guru tak mau mengerti malahan memerintahkan kepada murid-muridnya untuk menangkap hamba.
Duh gusti hamba mohon beribu-ribu ampun dalam keadaan demikian hamba terpaksa membela diri.
Semua murid Pangeran Guru yang berjumlah 24 orang itu bangkit mengepung hamba dari segala penjuru serta menghujani hamba dengan pukulan-pukulan, bahkan dengan senjata.
Salahkah kiranya kalau hamba berusaha untuk menyelamatkan diri dengan sebisa mungkin, sehingga menyebabkan tewas semua muridnya tersebut.
Melihat hal tersebut Pangeran Guru naik pitam, meskipun hamba memohon agar persoalan itu diakhiri sampai disitu saja, Pangeran Guru bersitegang ingin melanjutkan pertempuran dan hamba pun terpaksa melayaninya hingga Pangeran Guru menemui ajalnya.
Sebenarnya peristiwa berdarah tersebut tidak perlu terjadi, andaikata Pangeran Guru dapat menguasai emosinya yang meluap-luap."

Sampai disitu Nyi Endang Darma mengakhiri ceritanya, kemudian menundukkan kepalanya kembali sebagai tanda sangat menghormati Raden Wiralodra.
Raden Wiralodra setelah menanggapi cerita Nyi Endang Darma itu berkata :
"Jika benar demikian, maka jelaslah bahwa Eyang Pangeran Guru telah berbuat kesalahan.
Siapa yang bersalah tentu akan menerima hukumannya.
Meskipun beliau kakek hamba, namun hamba tak hendak membela yang bersalah".

Kemudian dia melanjutkan :
"Akan tetapi maafkanlah Tuan Puteri, hamba telah terlanjur membawa saudara-saudara hamba dari Bagelen untuk dihadapkan dengan tuan puteri, sudilah tuan puteri menerima tantangan mereka dengan suatu perjanjian.
Jika tuan puteri yang menang dalam pertarungan nanti maka yang kalah akan menjadi pelayan tuan puteri, sebaliknya jika tuan puteri yang kalah, maka tuan puteri akan menjadi isteri dari yang menang".


Dengan memperlihatkan paras muka yang sedih, Nyi Endang Darma berkata :
"Duh gusti, hamba mohon ampun tidak berani melawan saudara tuan hamba.
Hamba hanya memohon menumpang hidup disini, karuniailah hamba yang lemah ini.
Kalau tuan hamba tidak berkenan hamba menumpang hidup disini, biarkanlah hamba pergi dari sini dengan damai".

"Bukan itu maksud hamba, tuan puteri", sahut Raden Wiralodra.
"Seperti telah kukatakan, siapapun boleh menetap disini, Bumi disini seperti juga bumi yang lain adalah pemberian Tuhan untuk manusia, termasuk kita, janganlah tuan puteri berkecil hati.
Maksud hamba hanya ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana cara tuan puteri menghadapi Eyang Pangeran Guru dan murid-muridnya, dan untuk itu hamba memberikan izin".

Nyi Endang Darma menjawab :
"Jika demikian titah tuan hamba, hamba akan menjunjungnya, hanya saja hamba memohon dengan sepenuh hati agar persyaratan yang tuan hamba sebutkan tadi ditiadakan saja dan hamba mohon maaf sebelumnya, jika nanti terjadi hal-hal yang kurang senonoh dan tidak berkenan di hati tuan hamba".

Selesai mengucapkan kata-kata itu Nyi Endang segera menyembah keluar menuju ke alun-alun.
Pertama yang keluar sebagai penantang adalah Raden Tanujaya.
Manakala ia sudah berhadapan dengan Nyi Endang Darma, berkatalah ia :
"Wahai wanita yang cantik rupawan, ketahuilah bahwa yang berdiri di hadapan tuan puteri adalah Tanujaya.
Marilah kita bermain, jika tuan puteri kalah, maka tuan puteri harus menyerah untuk menjadi isteri hamba".

Tanpa berkata sepatah kata pun Nyi Endang Darma bagaikan burung sikatan menerjang Raden Tanujaya sambil memukul dadanya.
Raden Tanujaya laksana disambar petir jatuh tunggang langgang, tidak sadarkan diri.
Raden Tanujiwa yang melihat saudaranya jatuh terpelanting dan tidak sadar, dalam hatinya ia berkata :
"celaka kalau begini naga-naganya", Akan tetapi ia tak sanggup menanggung malu kalau ia tidak maju menggantikan kakaknya.
Maka iapun keluar ke arena sambil bekata :
"Hai Nyi Endang Darma, kiranya tuan puteri benar-benar sakti mandaraguna, cobalah kini Raden Tanujiwa".
Laksana banteng Ketaton Raden Tanujiwa menyerang Nyi Endang Darma dengan cara membabi buta.
Secepat kilat Nyi Endang Darma mengelak ke samping sambil mengayunkan tinjunya yang tepat mengenai dada Raden Tanujiwa.
Akibatnya parah, berbeda dengan kakaknya yang jatuh terpelanting hingga tidak sadar, Raden Tanujiwa laksana kertas ditiup angin, terbang melayang jatuh dihadapan kakaknya Raden Wiralodra seperti sengaja dibuat demikian sebagai pemberitahuan bahwa anak muda yang masih hijau itu bukanlah lawannya.

Raden Wiralodra tersenyum geli melihat hal ikhwal saudaranya yang menganggap bahwa semua wanita itu adalah makhluk lemah yang bisa diperlakukan semaunya saja, maka ia pun berkata :
"Hai dinda, sungguh tak kusangka bahwa adinda bisa dikalahkan dengan begitu mudahnya oleh seorang perempuan.
Alangkah malunya hati hamba membawa jago jauh-jauh dari Bagelen, datang kesini dapat dikalahkan oleh ayam betina hanya dengan satu kali pukulan saja".


Sambil tersungut-sungut Raden Tanuwijaya berkata :
"Coba kanda rasakan betapa hebatnya tlampekan ayam betina itu".
Kemudian Raden Wiralodra menyuruh kakaknya Raden Wangsanegara untuk maju ke arena, akan tetapi Raden Wangsanegara mogok, terus terang mengakui tidak sanggup melawan Nyi Endang Darma.
Maka Raden Wiralodra memanggil Nyi Endang Darma dan Nyi Endang Darma pun segera datang dan menyembah.
Raden Wiralodra berkata :
"Wahai tuan puteri, harap tuan puteri tidak berkecil hati, sekarang tibalah giliran hamba untuk maju ke arena, karena saudara hamba yang lain tidak sanggup menghadapi tuan puteri marilah kita keluar ke alun-alun".

Tetapi Nyi Endang Darma dengan sikap seperti orang ketakutan berkata :
"Duh gusti, hamba mohon ampun tidak berani melawan tuan hamba, biarlah hamba menyerah kalah sebelum bertanding".
"Jangan begitu", sahut Raden Wiralodra.
"Sudah jamaknya orang yang mempelajari ilmu haruslah menguji dirinya apakah ilmunya itu benar-benar cukup baik.
Anggaplah saja sebagai latihan".

Sementara itu diam-diam Raden Wiralodra berusaha henda menangkap Nyi Endang Darma, akan tetapi Nyi Endang Darma yang memang sudah terlatih baik, nalurinya mendorong dan ia berkelit ke samping sehingga luput dari tangkapan Raden Wiralodra.
Tanpa disadari mereka terlibat dalam suatu pertandingan adu kesaktian. Raden Wiralodra merasa terkecoh oleh gerakan Nyi Endang Darma yang begitu gesit segera berbalik mengikuti gerak langkah Nyi Endang Darma.
Sementara itu Nyi Endang Darma yang menyadari bahwa ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari terkaman Raden Wiralodra, segera melompat menjauhkan diri dari Raden Wiralodra.
Akan tetapi secara aneh Raden Wiralodra telah berdiri dihadapannya.

Nyi Endang Darma sudah dapat memastikan bahwa ia tidak mungkin lepas dari pengejaran Raden Wiralodra, segera mengubah dirinya menjadi danau yang sangat jernih.
Raden Wiralodra yang waspada akan hal itu, segera melepaskan carkranya ke dalam danau itu.
Maka danau itu pun lenyap dari penglihatan dan diiringi dengan munculnya seekor ular yang amat besar.
Hal itu pun segerai diketahui oleh Raden Wiralodra, maka iapun menjelma menjadi garuda.
Disambarnya ular itu dan terjadilah pula perkelahian antara ular dan garuda.
Kemudian ular pun lenyap dan Nyi Endang Darma masuk ke dalam jambu.
Akan tetapi Raden Wiralodra waspada akan tingkah laku Nyi Endang Darma, sehingga Nyi Endang Darma tidak dapat membebaskan diri dari pengejaran Raden Wiralodra, maka ia pun segera berganti rupa menjadi seekor burung yang mematuk-matuk jambu tersebut.

Nyi Endang Darma mengeluh dalam hati, alangkah susahnya membebaskan diri dari pengejaran Raden Wiralodra, kemudian Nyi Endang Darma lari ke gunung dan disana terjadi pula pertempuran.
Nyi Endang Darma mencipta dirinya menjadi sebuah bukit, akan tetapi Raden Wiralodra yang mengetahui hal itu segera mengubah dirinya menjadi petir dan menyambar bukit itu.
Nyi Endang Darma merasa kewalahan mendahi serangan-serangan Raden Wiralodra yang bertubi-tubi datangnya.
Maka iapun ia pun meloncat ke sungai Cimanuk.
Sampai disitu Raden Wiralodra tertegun tidak ikut meloncat masuk ke dalam sungai Cimanuk.
Sementara itu terdengar suara yang mengatakan :
"Duh Raden, hamba tidak sanggup bertanding melawan tuan".
Raden Wiralodra menjawab :
"Hai Nyi Endang, janganlah tuan hamba bertingkah, menyerahlah kepada hamba dan marilah kita pulang bersama-sama untuk melanjutkan membangun pedukuhan yang telah sama-sama kita rintis untuk anak cucu kita".
Kemudian terdengar lagi suara :
"Duh gusti Raden, maafkanlah hamba, perjalanan hamba masih jauh, janganlah hal itu merisaukan hati tuan hamba, hanya hamba berpesan jika kelak tuan hamba hendak memberi nama pedukuhan ini, maka untuk kenang-kenangan kita berdua, namakanlah pedukuhan ini dengan nama hamba.
Kiranya permohonan hamba ini tidaklah berlebihan karena hamba pun ikut mempunyai andil yang tidak sedikit dalam usaha membangun daerah ini".


Dengan perasaan masgul Raden Wiralodra pergi meninggalkan tempat itu seakan-akan tanpa tujuan sehingga akhirnya tibalah ia di desa Pegaden dimana saudara sepupunya Raden Wirasetra bermukim.
Raden Wirasetra gembira sekali melihat kedatangan Raden Wiralodra yang tidak diduga-duga itu.
Setelah Raden Wirasetra membahagiakan kedatangan saudaranya sambil berjabat tangan, maka Raden Wirasetra bertanya : "Wahai adinda, bagaimana perjalanan adinda mencari sungai Cimanuk apakah sudah berhasil?". Raden Wiralodra pun menjawab :
"Alhamdulillah kanda, hamba sudah berhasil menemukan sungai Cimanuk dan hambapun telah mendirikan pedukuhan disana".
Kemudian Raden Wiralodra menceritakan semua kisah pertemuannya dengan Nyi Endang Darma dari awal hingga akhir.
Dalam hatinya Raden Wirasetra sangat kagum dan menghormati keberanian Raden Wiralodra dalam usahanya mencapai cita-citanya, sehingga akhirnya terkabul juga.
Kemudian ia pun berkata :
"Syukurlah dinda jika demikian halnya, kanda hanya ikut mendo’akan semoga pedukuhan itu kelak menjadi negara yang subur dan makmur, tentram raharja bagi semua rakyat dan anak cucu dinda di kemudian hari".

Setelah tiga hari lamanya beristirahat di rumah Raden Wirasetra di Pegaden, maka Raden Wiralodra meminta diri untuk melanjutkan perjalanannya pulang ke pedukuhan Cimanuk.
Meskipun Raden Wirasetra menahannya agar Raden Wiralodra mau tinggal beberapa hari lagi di Pegaden, namun Raden Wiralodra tetap bertekad hendak lekas pulang ke pedukuhan Cimanuk, seakan-akan ada kekuatan gaib yang mendorongnya agar ia segera kembali ke tempat kediamannya.
Raden Wirasetra yang mengetahui keinginan Raden Wiralodra yang tidak dapat dibujuk untuk menundanya, terpaksa ia melepaskannya.
Setelah memperoleh izin dari sepupunya, maka iapun segera berangkat meninggalkan Pegaden menuju ke Cimanuk.
Setibanya di Cimanuk, tiba-tiba ia mendengar suara hiruk-pikuk datang dari arah Cimanuk sebelah timur.
Setelah Raden Wiralodra yakin dari mana datangnya suara itu, maka ia pun segera berangkat menuju tempat itu.
Tidak jauh di sebelah Timur Tanggul Cimanuk, kelihatan olehnya sekelompok pasukan yang bersorak-sorai seakan-akan pasukan yang baru kembali dari medan perang dengan membawa kemenagan.
Raden Wiralodra merasa heran dan bertanya dalam hatinya, apa sebenarnya maksud dan tujuan prajurit itu dan dari mana pula mereka datang.
Maka dengan langkah yang cepat Raden Wiralodra menuju barisan itu.

Adapun barisan itu adalah balatentara Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Arya Kemuning yang kembali dari medan perang di gunung Gundul Palimanan untuk menyakinkan apakah benar lembah sungai Cimanuk ada orang yang mendirikan pedukuhan.
Raden Wiralodra segera memasuki barisan dan bertemu dengan Patih Dipasara selaku wakil pimpinan dari pasukan itu.
Maka Raden Wiralodra pun bertanya :
"Maafkan tuan hamba, hamba mohon bertanya tentara dari manakah tuan hamba ini dan apakah maksudnyha datang ke lembah Cimanuk ini".
Patih Dipasara segera menjawab :
"kami adalah pasukan Pangeran Arya Kemuning yang hendak memeriksa orang yang membuka hutan disini tanpa minta izin lebih dahulu dari Gusti Sinuhun Cirebon, sebab hutan Cimanuk ini adalah wilayah kekuasaan Sultan Cirebon".

Setelah mendengar keterangan dari Patih Dipasara, Raden Wiralodra berkata :
"Adapun orang yang tuan hamba maksudkan itu adalah hamba.
Hamba bernama Wiralodra yang mendirikan pedukuhan disini.
Benar hingga kini hamba belum melapor kepada Gusti Sinuhun, karena pembangunan negeri ini belum lagi selesai.
Hamba pasti datang menghadap Gusti Sinuhun kelak setelah pembangunan pedukuhan ini selesai".

Patih Dipasara merasa sangat beruntung karena tanpa disengaja tiba-tiba menjumpai orang yang sedang dicarinya, sehingga tidak perlu membuang-buang tenaga untuk mencarinya.
Maka berkatalah Patih Dipasara :
"Syukurlah kalau begitu, marilah kita sekarang bersama-sama menghadap Gusti Arya Kemuning".

Tanpa mengeluarkan ucapan sepatah katapun Raden Wiralodra langsung mengikuti langkah Patih Dipasara menuju ke tempat peristirahatan Pangeran Arya Kemuning.
Setibanya ditempat perkemahan Arya Kemuning, mereka dipersilakan duduk dan Pangeran Arya Kemuning segera menegurnya :
"Siapakah orang yang tuan bawa kemari itu hai Patih..?"
Patih Dipasara menjawab bahwa orang ini adalah Raden Wiralodra yang mendirikan pedukuhan disini yang sedang kita cari.
Arya Kemuning segera mengalihkan pandangannya kepada Raden Wiralodra dan bertanya :
"Hai Wiralodra, hamba baru saja menghadap Gusti Sinuhun dan hamba diperintah untuk memeriksa hutan sungai Cimanuk, karena menurut laporan yang diterima oleh Gusti Sinuhun, bahwa disini ada orang yang membuka hutan tanpa memohon izin lebih dahulu kepada Gusti Sinuhun.
Bukankah tuan hamba mengetahui bahwa hutan disini termasuk wilayah kekuasaan Gusti Sinuhun Cirebon?".


Raden Wiralodra yang selama Arya Kemuning bercakap-cakap senantiasa menundukkan kepalanya sebagai tanda penghormatan kepada orang yang dihadapinya, kini mulai mengangkat kepalanya seraya berkata :
"Sesungguhnya memang hambalah yang memababad hutan Cimanuk ini untuk dijadikan tempat pemukiman, dan benar hamba belum menghadap Gusti Sinuhun untuk memohon izin, akan tetapi hamba telah mendengar bahwa Gusti Sinuhun telah mengumumkan pemberian izin kepada setiap orang yang ingin membuka hutan untuk pemukiman.
Berhunbung dengan itu hamba langsung bekerja dan baru kemudian akan melapor setelah pekerjaan selesai.
Kalau karen itu hamba dianggap bersalah, maka hamba mohon maaf sebesar-besarnya".

"Dasar orang tidak tahu adat, mengambil dulu baru minta izin", tukas Arya Kemuning dengan kasar.
Mendengar ucapan Arya Kemuning yang ketus itu, hati Wiralodra merasa terbakar, maka ia pun segera menjawab :
"Hai Arya Kemuning, mengapa tua berkata sekasar itu padahal hamba sudah mohon maaf kalau tindakan hamba itu dianggap melanggar peraturan, walaupun hamba yakin bahwa tindakan hamba akan dibenarkan oleh Gusti Sinuhun.
Tunjukkan buktinya bahwa tuan benar-benar mengemban tugas dari Gusti Sinuhun".


Mendengar jawaban Raden Wiralodra, Arya Kemuning naik pitam dan memerintahkan kepada Patih Dipasara untuk menangkap Raden Wiralodra, akan tetapi malang baginya karena Raden Wiralodra yang sudah mulai bangkit amarahnya itu, tanpa membuang-buang waktu segera menyambut serangan Patih Dipasara dengan satu tendangan maut yang menyebabkan Patih Dipasara jatuh tersungkur di tanah.
Melihat keadaan yang tidak menyenangkan itu, Arya Kemuning segera maju menerjang Raden Wiralodra, Arya Kemuning segera menerjang Raden Wiralodra, maka pertempuran sengit terjadi antara kedua satria itu, dorong mendorong dan banting-membanting pun tak terelakan.
Pada permulaannya kelihatan seakan-akan sama kuatnya, akan tetapi kemudian Raden Wiralodra mendorong Arya Kemuning dengan amat kuatnya, sehingga Arya Kemuning jatuh terjerembab.
Manakala ia hendak bangkit maka Raden Wiralodra mengayunkan kakinya secepat kilat dan tepat mengenai lambung Arya Kemuning.

Arya Kemuning memekik kesakitan sambil bergelimpanan, kemudian ia merangkak mendekati kudanya yang bernama Windu (Haji) dan dengan susah payah ia berusaha menaiki kudanya sambil berteriak :
"Hai Wiralodra, kalau tuan benar-benar satria, majulah dan rasakan tendangan Si Windu yang telah banyak menhancurkan tentara Rajagaluh".
Raden Wiralodra dengan tenang menjawab :
"Hai Arya Kemuning tak usah banyak bicara, majulah bersama dengan kuda yang tuan banggakan itu, hamba tak akan lari walaupun hamba harus mati disini".
Arya Kemuning segera memacu kudanya untuk menyerang Raden Wiralodra, akan tetapi Wiralodra yang cepat melihat gelagat yang berbahaya itu, segera mendahului melompat dan menangkap tali kekang kuda Arya Kemuning dengan sekuat tenaganya.
Akibatnya Si Windu yang terkejut itu mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi serta meringkik kesakitan.
Ia tak kuasa melangkah kakinya untuk maju ke depan karena tertahan oleh dorongan Wiralodra.
Walaupun Arya Kemuning memecutnya agar Si Windu menerjang lawannya.
Akibatnya Si Windu menerjang lawannya.
Akibatnya Si Windu menjatuhkan diri di atas kedua lututnya sambil meringkik.

Wiralodra yang segera mengerti akan tingkah laku Si Windu yang ketakutan dan kesakitan itu segera melepaskan kendali yang selama ini dipegangnya teguh-teguh.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Si Windu, segeralah ia bangkit dan meloncat lari laksana terbang, walaupun tali kekangnya ditahan keras-keras oleh penunggangnya.
Demikianlah Si Windu lari dan lari menuju daerah Kuningan tanpa menghiraukan kehendak tuannya.
Konon setibanya di perbatasan Kuningan, Arya Kemuning dihempaskan dari punggungnya dan si Windu melompat lari meninggalkan tuannya memasuki hutan.
Wiralodra yang merasa telah aman dari gangguan Arya Kemunging dengan pasukannya, kemudian segera kembali ke Pedukuhan Cimanuk.

Tidak lama sesudah terjadinya peristiwa itu, terlintas di hati Wiralodra suatu keinginan untuk meresmikan berdirinya pedukuhan Cimanuk dan memberikan nama yang tetap.
Setelah ia berunding dengan para pembantunya terutama Ki Tinggil, maka mulailah mereka mengadakan persiapan pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan, karena ia bermaksud lebih dulu mendirikan Tarub Agung (Pendopo) untuk berkumpul dan bermusyawarah mengenai jalannya pemerintahan.
Saat bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat pendopo sudah siap semuanya, mulailah Raden Wiralodra dan rakyatnya membangun Tarbu Agung dengan menggunakan bahan-bahan yang terdiri dari kayu dan bambu.
Setelah pembangunan Tarub Agung selesai, maka Wiralodra menyiapkan saat akan diresmikannya pedukuhan tersebut.
Wiralodra menghendaki agar peresmian tersebut dilaksanakan dengan suatu upacara sebagaimana lazimnya, yaitu mengadakan acara selamatan serta keramaian ala kadarnya.

Pada saat yang telah ditentukan, diresmikanlah berdirinya dukuh Cimanuk itu dengan segala kemeriahannya.
Berbagai hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, rusa, dan kambing disembelih untuk merayakan berdirinya dukuh Cimanuk, kemudian rakyat berkumpul di Tarub Agung untuk merayakan peresmian serta menikmati hidangan yang disajikan. Sebelum selamatan dimulai, terlebih dahulu Wiralodra mengucapkan pidato peresmian.
Suasana seketika menjadi hening, ketika Wiralodra berdiri sambil menucapkan salam, sesudah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, maka Wiralodra mulai menguraikan riwayat berdirinya pedukuhan Cimanuk.
Kemudian mengakhiri pidatonya dengan kata-kata :
"Untuk mengenang jasa orang yang telah ikut membangun pedukuhan ini, maka pedukuhan ini kami namakan Darma Ayu".

Selanjutnya Wiralodra mempersilakan Ki Tinggil untuk membacakan do’a.
Ki Tinggil membacakan do’a dengan khidmat, sementara para hadirin membaca aamiin.
Selesai membaca do’a Ki Tinggil mempersilakan para hadirin untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Sambil berkelakar seperti biasanya, Ki Tinggil berkata :
"Alangkah senangnya, kalau makan-makan seperti ini bisa kita adakan setiap bulan", Hadirin pun tertawa mendengar kelakar Ki Tinggil itu.

Di luar ramai gamelan dibunyikan seperti calung, angklung dan lain-lain.
Kemudian Ki Tinggil memasuki tarub dimana kesenian tayub diselenggarakan.
Kedatangan Ki Tinggil disambut hadirin yang berkumpul di tempat itu, kemudian oleh salah seorang yang hadir, disuguhkan kepada Ki Tinggil sehelai selendang sebagai tanda penghormatan agar Ki Tinggil mau menari.
Dengan senyum-senyum simpul akhirnya Ki Tinggil menerima selendang itu dan memasangnya pada pinggangnya, kemudian mulailah menari.
Tarianya amat jenaka sehingga para hadirin yang berkumpul disitu bersorak-sorai sambil bertepuk tangan.
Sementara Ki Tinggil berlenggak-lenggok sambil menggoyang-goyangkan pantatnya, biji matanya yang memang besar itu diputar-putarnya ke segala penjuru jurusan, sementara bibirnya menonjol oleh giginya yang cukup besar.
Semua penonton senang sekali menyaksikan tarian Ki Tinggil hingga suasana menjadi semakin meriah.
Demikianlah peresmian Tarub Agung pun selesai dan diakhiri dengan selamat.

Sumber : Buku Sejarah Indramayu karya H.A Dasuki (1977)
Sejarah Kota Indramayu